In English Language
Bandung station or Station Hall (code: BD), is the main railway station in Bandung. Station altitude +709 m above sea level into the boundary between the Village and Kebonjeruk Pasirkaliki. Station Hall previously had only one station, after renovation by the City Hall station Bandung is now divided into two parts although still united.
The station known as the Hall itself other than the railway station in the city of Bandung, he was also famous as the city transportation terminals. Caused by a number of leading public transportation Hall Station then automatically he became famous in the city with the title of "public transportation terminal" in addition to the train station.
Hall Station is located at Jalan Kebon Kawung.
In the book face Bandoeng Doeloe Tempo (1984) essay Haryoto Kunto, the initial idea of the construction of stations associated with the opening of plantations Bandung in Bandung around 1870. The station was inaugurated on May 17, 1884, when the reign of Regents Koesoemadilaga and at the same time also opened railroads Batavia-Bandung via Bogor and Cianjur. In those days, the landlord estates (Preangerplanters) using the railroads to send the plantation to Batavia faster. To accommodate and store the results of estates that will be transported by train, built warehouses stockpiling goods in several locations near the station Bandung, Jalan Cibangkong, Cikuda-Pateuh Road, the area Kosambi, Kiaracondong, Braga, Pasirkaliki, Ciroyom, and Andir. Shortly after the inauguration of the path Bandung-Surabaya (November 1, 1894), the owners of sugar mills and plantations of Central Java and East Java (Suikerplanters) rented railroad cars to Bandung to attend the Congress Entrepreneur of the first sugar plantation. The Congress is a meeting of the Executive Board of the Sugar Association Entrepreneurs (Bestuur van de Vereniging van Suikerplanters) in Surabaya in 1896. [1]
In 1909, architect FJA Cousin expand the old building Bandung station, one of which is marked with ornate stained glass in the southern part of the platform-style Art Deco. In 1918, this station connects Bandung-Rancaekek-Jatinangor-Tanjungsari-Citali, then a year later built a cross-Bandung-Citeureup Majalaya and built on the same track line-Banjaran Citeureup-Canning (1921). For the path to the tea plantations, in 1918, built into Kopo Bandung path and then to Ciwidey (March 1921). [1]
At the inauguration of Bandung station, Dutch newspaper at that time, Javabode, wrote that the surrounding communities to celebrate for 2 consecutive days. Formerly, the train is a means of transportation of oil production Bandung, such as quinine, tea, coffee, and rubber, so that economic growth in the rapidly growing city. This causes the station received an award from the city government in the form of the monument is right in front of the station, which is on the platform of the south (South Station Road). At that time, the monument is lit by 1,000 lanterns draft Ir EH De Roo. The monument has been replaced by a monument replica steam locomotive series TC 1008. In 1990, was built north of the platform that finally made the front of the station on Jalan Kebon Kawung
In Indonesian
Stasiun Bandung atau Stasiun Hall (kode: BD), adalah stasiun utama kereta api di Kota Bandung. Stasiun berketinggian +709 m dpl menjadi batas antara Kelurahan Pasirkaliki dan Kebonjeruk. Stasiun Hall sebelumnya hanya memiliki satu buah stasiun, setelah ada renovasi oleh pemerintah Kota Bandung maka Stasiun Hall sekarang terbagi menjadi dua bagian walaupun tetap bersatu.
Stasiun Hall sendiri selain terkenal sebagai stasiun kereta api di kota Bandung, ia juga terkenal sebagai terminal angkutan kota. Disebabkan oleh banyaknya angkot yang menuju Stasiun Hall maka secara otomatis ia menjadi terkenal di kota Bandung dengan predikat "terminal angkot" selain stasiun kereta api.
Stasiun Hall berlokasi di Jalan Kebon Kawung.
Dalam buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (1984) karangan Haryoto Kunto, ide awal pembangunan Stasiun Bandung berkaitan dengan pembukaan perkebunan di Bandung sekitar tahun 1870. Stasiun ini diresmikan pada 17 Mei 1884, ketika masa pemerintahan Bupati Koesoemadilaga dan pada waktu yang sama juga dibuka jalur kereta Batavia-Bandung melalui Bogor dan Cianjur. Di masa itu, para tuan tanah perkebunan (Preangerplanters) menggunakan jalur kereta api untuk mengirimkan hasil perkebunannya ke Batavia dengan lebih cepat. Untuk menampung dan menyimpan hasil perkebunan yang akan diangkut dengan kereta, dibangunlah gudang-gudang penimbunan barang di beberapa lokasi dekat Stasiun Bandung, yaitu Jalan Cibangkong, Jalan Cikuda-Pateuh, daerah Kosambi, Kiaracondong, Braga, Pasirkaliki, Ciroyom, dan Andir. Sesaat setelah peresmian jalur Bandung-Surabaya (1 November 1894), para pemilik pabrik dan perkebunan gula dari Jawa Tengah dan Jawa Timur (Suikerplanters) menyewa gerbong kereta menuju Bandung untuk mengikuti Kongres Pengusaha Perkebunan Gula yang pertama. Kongres tersebut merupakan hasil pertemuan Pengurus Besar Perkumpulan Pengusaha Perkebunan Gula (Bestuur van de Vereniging van Suikerplanters) di Surabaya tahun 1896.[1]
Pada tahun 1909, arsitek FJA Cousin memperluas bangunan lama Stasiun Bandung, salah satunya ditandai dengan hiasan kaca patri pada peron bagian selatan yang bergaya Art Deco. Tahun 1918, stasiun ini menghubungkan Bandung-Rancaekek-Jatinangor-Tanjungsari-Citali, kemudian setahun kemudian dibangun lintas Bandung-Citeureup-Majalaya dan pada jalur yang sama dibangun jalur Citeureup-Banjaran-Pengalengan (1921). Untuk jalur ke perkebunan teh, pada tahun 1918, dibangun jalur Bandung ke Kopo dan kemudian ke Ciwidey (Maret 1921).[1]
Pada saat peresmian Stasiun Bandung, surat kabar Belanda saat itu, Javabode, menuliskan bahwa masyarakat sekitar merayakannya selama 2 hari berturut-turut. Dulunya, kereta api merupakan sarana transportasi hasil produksi perkebunan Bandung, seperti kina, teh, kopi, dan karet, sehingga pertumbuhan ekonomi di kota tersebut berkembang pesat. Hal ini menyebabkan stasiun ini mendapat penghargaan dari pemerintah kota berupa monumen yang berada tepat di depan stasiun, yaitu di peron selatan (Jalan Stasiun Selatan). Saat itu, tugu tersebut diterangi oleh 1.000 lentera rancangan Ir EH De Roo. Monumen tersebut telah digantikan oleh monumen replika lokomotif uap seri TC 1008. Pada tahun 1990, dibangun peron utara yang akhirnya dijadikan bagian depan stasiun di Jalan Kebon Kawung
0 komentar:
Posting Komentar